cerita rustini



Cerita Rustini
;Habibur Rahman Jaya
sudah 18 tahun lebih Dio hidup di rumah yang cukup sederhana ini. Namun  sampai saat ini, kejanggalan yang timbul sejak 5 tahun silam, waktu Dio masih berumur sekitar 13 tahunan belum juga terungkap. Waktu itu, Dio masih tercatat sebagai siswa baru di salah satu SMP Negeri terdekat dengan rumahnya. Selama satu bulan Dio sekolah, semuanya berjalan biasa saja. setelah salah satu dari temannya tahu bahwasanya nama orang tua Dio tidak sama dengan nama orang tua yang merawatnya sekarang, mereka mengejeknya dengan berbagai macam ocehan dan mengecap sebagai anak haram. Waktu itu Dio hanya bisa menangis tersedu sedu ketika mendengar ocehan dari temannya sendiri. Sebelum kejadian tersebut, Dio tak pernah mempermasalahkan identitasnya. namun setelah kejadian itu terjadi, Dio berusaha keras mencari identitasnya sendiri. Ia bertanya kepada Rustini,  Ibu yang telah merawatnya selama ini. Tidak pernah ada jawaban yang jelas. setiap kali ia bertanya, Rustini hanya menjawab “Suatu saat ketika sudah tiba waktunya kau akan tahu sendiri”.
Sudah satu jam kira-kira Dio duduk di teras rumah dengan segelas kopi hangat dan dan sebatang rokok yang sesekali asapnya di semburkan membentuk huruf O. Seringkali ia menggepakkan tangan ke tubuhnya yang tak terlindungi oleh baju guna melawan nyamuk yang memangsanya. Baru saja ia marah pada dirinya sendiri sebab identitas orang tuanya yang belum jelas, hingga kini kemarahannya masih berlarut-larut sampai malam semakin larut.
“Nak Dio, suara jangkrik sudah tak terdengar lagi. Malam sudah larut. Sebaiknya kamu tidur dulu. Bukannya besok kamu masih mau sekolah?” ujar Rustini  dari belakang seraya menepuk pundak Dio. Mengagetkan.
“Bu, sebelum tidur, Bolehkah aku bertanya sesuatu kepada Ibu?” Rustini tersentak kaget seakan paham apa yang akan ditanyakan oleh Dio.
“Sekarang sudah terlalu larut malam untuk ngobrol. Sebaiknya kita bicara besok saja” Rustini Berusaha mengelak. namun Dio tetap saja memaksa
“Bu, aku tidak akan tidur sebelum sampean menjawab pertanyaanku”
“Baiklah nak Dio, sebenarnya apa yang akan kau tanyakan?” Rustini pasrah dengan keadaan. Dio hanya diam tak berucap.
“kamu akan bertanya tentang orang tuamu bukan?” Rustini melanjutkan pembicaraan.
“Baiklah Dio, akan aku ceritakan siapa orang tuamu yang sebenarnya” masih saja Dio diam. Kali ini dia menunduk. Merasa tidak enak diri kepada Rustini.
“Sebenarnya kau bukan anak yang lahir dari rahimku Dio,” Rustini memulai ceritanya. Dio masih saja menunduk. Rokok yang masih tinggal separuh ia hisap kembali lalu membuangnya.
“Maryam nama Ibumu. Beliau meninggal ketika kamu masih belia. kalau tidak salah waktu itu usiamu masih 14 bulanan. Sebelum meninggal ibumu berwasiat untuk menjagamu. Sejak saat itulah aku menganggapmu sebagai Anak kandungku sendiri;”
“Lantas, kenapa Ibuku berwasiat kepadamu?” Dio bertanya penasaaran. Rustini hanya diam. Matanya mulai sembab. Dio keheranan melihat kesembababan mata Rustini
“Kenapa Ibu hanya diam? Ayo Bu, jawab pertanyaan Dio,” Dio tampak memaksa. tiba-tiba saja air  mata Rustini menetes
“Dio, sebenarnya antara Ibumu dan aku tidak ada hubungan apa-apa. Dulu, waktu kamu masih berada dalam kandungan Ibumu, aku menemukan Ibumu terkapar dan jatuh pingsan di trotoar jalan” Rustini Menghentikan pembicaraan sejenak. menarik nafas dan menghembuskannya kembali perlahan. Menenangkan fikiran.
“Karena kasihan, aku membawanya ke rumah sakit. saat itu aku bingung mencari identitas dan keluarga Ibumu. Ibumu tidak membawa kartu identitas apapun dan saat itu sedang koma,” Rustini melanjutkan pembicaraan. Dio hanya menunduk mendengarkan cerita Rustini dengan seksama. matanya mulai sembab dialiri air mata dari matanya sendiri.
suasana semakin kalut. keheningan tengah malam menambah ketegangan dalam cerita Rustini. mata mereka sama-sama basah karena air matanya sendiri. Sejenak hening tercipta. dio menyulut rokoknya yang sudah tinggal sebatang dan kembali menyeruput kopinya yang sudah dingin. Cerita Rustini tidak lagi terdengar. Sepertinya Rustini tidak lagi mampu melanjutkannya. Rustini berusaha memohon untuk mencukupkan ceritanya. Tapi Dio yang keras kepala tidak mau menghentikan cerita Rustini. sambil matanya berlinang air mata, Dio sambil berucap “sebelum sampean selesai bercerita aku tidak akan pergi dari tempat ini” Rustini tidak bisa berbuat apa-apa selain melanjutkan ceritanya
“Setelah sadar Ibumu bercerita kepadaku”
“Terus?”
“Dia bercerita bahwa beliau lari dari rumahnya. Suaminya dibunuh. Rumahya disita karena Suaminya tidak mampu bayar hutang.” Rustini kembali terdiam. air matanya semakin deras. Dio hanya menunduk memandangi tanah. Rokoknya yang sudah tinggal separuh ia hisap kembali lalu membuangnya.
“Bapakmu selalu keluar malam. main judi dan mabuk-mabukan dia lakukan setiap malam. Bapakmu dibunuh setelah kalah main judi dan tidak mau membayar sebab uangnya sudah habis.”
“Lantas bagaimana dengan nasib Ibuku?”
“setelah itu, Ibumu tinggal bersamaku. Empat hari kemudian kamu terlahir di rumahku. waktu itu Ibumu melahirkan sendirian dirumah. Aku sedang bekerja”
“Ibu kapan meninggal?”
“Ibumu menderita penyakit stroke. seminggu setelah kelahiranmu, penyakitnya kambuh. kemudian dia meninggal di rumah sakit setelah mengalami kegagalan operasi.” Dio hanya menunduk air matanya kian deras berjatuhan ketanah. suaranya sesengukan. Rustini berdiri lalu beranjak dari tempat duduknya dan masuk ke dalam rumah. kemudian keluarlagi dengan membawa sebuah kertas dan menyodorkannya ke Dio
“Ini surat yang aku temukan di laci lemari Ibumu setelah kematiannya” Dio mengambil kertas yang disodorkan Rustini kepadanya lalu membacaanya sambil lalu keluar suara sesengukan dari mulutnya.
Bu Rustini yang telah baik hati mau menolongku, maafkan aku jika tidak mampu membalas budimu.Maaf aku tidak memberi tahumu kalau sebenarnya aku menderita penyakit stroke. Itu semua aku lakukan karena aku tidak mau menghawatirkanku. Mungkin kita tidak akan lama bersama dalam rumahmu. Umurku sudah tidak lama lagi. Jika berkenan, aku titipkan anakku Dio. Aku sangat berharap kamu mau menerima dan merawatnya seperti anakmui sendiri. Aku mohon jaga dia. Aku sangat bahagia kelak bila anakku tumbuh besar dan menjadi anak yang berbakti .
air mata Dio semakin deras saja menetes setelah membaca tulisan ibunya. Ia melipat kembali kertas tersebut da memberikannya lagi kepada Rustini seraya bangkit dari tempat duduknya.
“Sekarang aku mohon kepada Ibu antarkan saya ke makam Ibuku”
“Jangan Nak, ini sudah terlalu larut malam. Biar besok saja aku akan mengantarkanmu ke makam Ibumu”
“Ya sudah kalau Ibu tidak mau biar aku pergi sendiri. aku ingin melihat tempat peristirahatannya. Aku ingin melihat batu nisan yang tertancap di makamnya” tanpa banyak bicara Dio segera pergi menembus gelapnya malam. Rustini mengikutinya dari belakang sambil berteriak memanggil Dio. tapi Dio seakan tuli. tidak mendengar suara apapun termasuk juga suara panggilan Rustini.

Annuqayah, 2017

Komentar